Sunday, November 30, 2014

BUKU KITA

Penulis: Endar Wahyuni


“Sayang lagi apa?” Rani terdengar manja dari ujung telepon.

“Kenapa? Kangen, ya?” goda Arul.

“Idih..., ditanyain malah gitu. Kamu, tuh, ya..., nyebelin tauukkk!” Rani pasang muka manyun, meskipun semanyun apa pun Arul juga nggak lihat.

“Hehehe....”

“Tuh, kan, tuh, mulai lagi nyebelinnya.”

“Iya, deh, maaf. Hari-hari terakhir ini lagi sibuk deketin penerbit, nih....”

“Hadehhh..., gini, nih, susahnya pacaran sama penulis. Kalo nggak ditinggal nulis, ya, ditinggal pedekate. Atau, apalah tetek-bengek lainnya.”

“Yee..., siapa suruh mau sama penulis!” Arul terkekeh dari seberang.

“Ohh..., gitu? Oke---“

“Jiahhh..., gitu aja ngambek. Beneran, Sayang, kali ini penerbitnya penting banget. Jadi, yang sabar, ya!” pinta Arul memotong kalimat Rani yang sudah terdengar nada ancamannya.

“Hemmm,” jawab Rani singkat, padat, dan cukup jelas bagi Arul bahwa si dongkol sudah muncul di diri kekasihnya.

“Bukan penerbitnya langsung, sih..., perantara dan apa, ya? Pokoknya dia kunci utama, deh. Yakin, buku ini aku persembahkan khusus buat kamu. Tentang kita gitu....”

“Sejak kapan nulis buku buat aku?” tanya Rani sedikit ketus.

Ya..., selama pacaran memang Arul tidak pernah menulis apa pun tentang Rani. Apalagi yang dipublikasikan. Tidak sama sekali. Bukan apa-apa, karena bagi Arul memang nggak harus diumbar-umbar. Dan selama ini, Rani pun tak mempermasalahkan hal itu. Apalagi, notabennya Rani bukan pecinta buku yang fanatik. Suka baca, cuma yang benar-benar bagus menurutnya saja.

“Sejak disetujuinya ide untuk buku yang satu ini. Makanya, jangan marah-marah terus. Bantu doa!”

“Hayooo..., jangan-jangan yang dideketin cewek dan ada maunya lagi,” selidik Rani.

“Disuruh bantu doa malah cemburunya kumat. Dia laki-laki, kok. Kalo aku sebutin namanya pasti kamu kenal juga.”

“Jawab aja nggak usah pake tebak-tebakan. Siapa orangnya dan mau nerbitin buku tentang apa. Seingatku, aku nggak punya kenalan penerbit atau apa pun yang berhubungan dengan tulisan.” Rani mulai nggak sabar dengan Arul yang terlihat main petak umpet soal nama.

“Hahaha! Buku apa, ya? Buku yang ada nama, tanda tangan, sama foto kita berdua. Hehehe....” Arul terkekeh dari balik telepon.

“Aiihhh..., bercanda mulu,” tukas Rani dengan sedikit senyum ngarep juga.

“Cie..., yang ikut senyum malu-malu, cieee,” goda Arul.

“Sok tahu!” sanggah Rani.

“Serius ini, Sayang. Minggu depan aku ke rumah, ya. Semalem udah telepon juga sama Pak Adam. Orang yang aku bilang sebagai kunci pertama terbitnya buku ini,” ucap Arul serius.

Rani senyum-senyum sendiri di kamarnya mendengar satu nama yang sudah teramat dia kenal dari lahir. Pak Adam, ayahnya.


  JOG, En-301114




Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

Friday, November 28, 2014

Berbagai Pilihan Kado Untuk Anak

Anak merupakan anugerah yang tiada duanya bagi orang tua. Sebagai orang tua, tentu menginginkan yang terbaik baginya. Mulai dari makanan, pakaian, sekolah, dan lainnya. Salah satu peristiwa penting bagi si anak seperti ulang tahun, orangtua perlu memberikan sebuah kesan yang istimewa agar si anak merasa spesial.

Selain merayakan ulang tahunnya dengan mengadakan suatu acara atau pesta yang berkesan, pemberian sebuah kado atau hadiah juga penting, loh....

Berikut beberapa contoh kado yang bisa kita berikan pada anak:

1. For My Baby [0-5 tahun]

Untuk si baby di masa lucu-lucunya ini, bisa banget kamu kasih kado berupa set pakaian bayi, baby bath set and diapers, atau mainan bayi lucu yang membantu tumbuh kembang anak. Yang jelas, berilah kado yang berguna untuk keseharian si bayi. :)



2. For My Schooler [5-10 tahun]

Tak menyangka, si anak sudah masuk sekolah. Di masa emas ini, berilah kado yang menunjang masa emas pendidikan anak. Bisa berupa buku cerita, alat tulis sekolah, tas sekolah, atau sepatu.



Jika ingin memberikan mainan, maka berilah mainan yang dapat memfasilitasi bakat anak kedepannya, seperti: lego, alat musik mini, mainan masak-masakan, mainan mobil-mobilan, bola, raket, papan permainan (catur, halma, srcamble, monopoli, ular tangga).

 

Atau bisa juga memberikan permainan tradisional seperti gasing, congklak, bekel, kelereng, dll. Hal ini membantu memperkenalkan anak terhadap budaya Indonesia sejak dini.



Jika anak Anda perempuan, kado boneka bisa menjadi pilihan utama buat si kecil. Boneka bisa dalam bentuk teddy bear, boneka hewan, barbie, dll.





3. For My ABG [11-13 tahun]

Anak yang sudah ABG (Anak Baru Gede) atau di masa-masa praremaja, memang sedang berada di masa-masa tanggung. Disebut anak-anak juga sudah tidak terlalu tepat, tetapi juga belum bisa dikatakan remaja. Memberikan kado untuk anak-anak di usia mereka memang agak membingungkan. Coba deh, beri mereka kado-kado aksesoris kamar yang lucu-lucu bernuansa kekanak-kanakan.





4. For My Teenager [14-19 tahun]

Masa remaja merupakan masa transisi yang menentukan kehidupan sesungguhnya kelak. Tidak terlalu jauh berbeda dengan kado ABG, kado untuk anak remaja bisa berupa aksesoris yang lebih kasual dan bernuansa lebih dewasa.





5. Anak 20 tahun ke atas

Usia anak yang sudah cukup dewasa. Sudah dianggap mampu untuk membiayai diri sendiri bahkan membiayai keluarga. Untuk anak seusia ini, berilah kado yang barang-barang bernilai guna untuk kesehariannya, seperti tas, baju, sepatu, dompet, dsb.







Bagaimana??? 
Semoga cukup menginspirasi yaa.... 




-beberapa gambar diambil dari 'google'

Thursday, November 27, 2014

Senja Terakhir

Penulis: Endar Wahyuni


Kangen senja ^_^
Ini  senja terakhir kita, please datang  :’)
                               
Kubuka lagi pesan dari Bima satu jam yang lalu. Lantas kulirik jam tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Namun, Bima tak kunjung datang jua.

Angin pantai berembus kencang. Sore sebentar lagi berganti senja. Kunikmati debur ombak yang tak hentinya mencumbu pasir pesisir. Matahari mulai merangkak turun, membuat sore semakin teduh. Kuhirup aroma angin pantai. Aroma yang menjadi begitu kental beberapa musim terakhir. Entah sejak kapan aku menyukainya. Mungkin hanya karena terbiasa saja. Karena, sejatinya aku bukan pecinta senja. Aku lebih suka menikmati pantai di pagi hari, saat matahari mengenalkan diri.

“Hei..., sudah lama, ya?” Bima tiba-tiba mengejutkanku.

“Kebiasaan, sih, molor. Senjanya hampir habis, tuh!” protesku.

Lelaki itu lantas duduk di sampingku. Dia menatapku sejenak, lalu pandangannya beralih ke bibir laut. Kami saling terdiam, menikmati pikiran masing-masing.

“Nggak nyangka, ya, waktu berjalan cepet banget,” ucapnya memecah keheningan.

“Iya, nggak nyangka juga sebentar lagi kamu udah nikah. Cie..., cie..., senengnya,” godaku.

“Hahaha..., berkat kamu juga, kan? Buru-buru nyusul, gih!” Gantian Bima yang menggodaku.

Aku hanya bisa nyengir mendengar selorohnya.

“Hemmm..., terima kasih, ya, Mey. Aku akui, kamu super duper segalanya, deh,” lanjutnya.

“Biasa aja kali, Bim!”

“Eh, serius ini. Dari awal hubunganku dengannya, kamu selalu support. Bersedia 24 jam kuganggu cuma gara-gara datang virus galau. Sampai---“

“Sampai bukan cewekmu yang meminta segera dinikahi. Tapi, aku yang memaksamu segera melamarnya,” ledekku memotong pembicaraan Bima.

“Hahaha..., iya, iya. Jadi, bener, kan? Kamu memang hebat. Bisa meyakinkan aku untuk lebih serius lagi.” Bima terkekeh.

“Apa, sih, yang nggak buat kamu? Intinya, aku seneng lihat kamu bahagia. Aku  yakin dia adalah pilihan yang tepat. Wanita hebat yang akan berada di sampingmu selamanya.”

“Idiihhh, kenapa jadi sendu gitu ngomongnya?” ledek Bima.

“Hadeh, ngerusak suasana aja kamu, Bim. Orang lagi belajar ngomong romantis gini.” Aku pasang muka cemberut.

“Jelek banget mukanya. Jomblo terus kapok!” goda Bima. “Tapi, makasih, ya, gara-gara kamu, aku nggak jadi sama cewek nggak bener itu.”

“Nggak usah sebut dia lagi. Yang penting sekarang kamu sudah sama orang yang lebih baik,” ujarku.

“Hehehe..., untung, ya, kamu mengingatkan aku supaya nggak terjebak permainannya. Sudahlah, bener katamu. Sekarang yang penting aku sudah menemukan orang yang tepat,” balas Bima.

“Dan sebentar lagi menikah.” Kulirik Bima seraya tersenyum.

Kami berdua lantas tertawa bersama sambil menikmati senja yang hampir habis. Layaknya senjaku bersama Bima yang sebentar lagi berakhir juga. Hari-hari selanjutnya, tak ‘kan ada lagi tawa kami mengalahkan debur ombak yang airnya ikut berwarna keemasan. Tak ‘kan ada lagi cerita-cerita mengalir ikut mewarnai siluet merah jingganya cakrawala. Dan mungkin aku akan kembali pada gigilnya pantai pagi hari, sendirian.

“Mey, sekali lagi makasih buat semuanya, ya. Buat dukungan kamu selama ini. Buat kebaikan dan kesabaran kamu. Termasuk buat tawa-tawa kita.” Bima terdiam sejenak.

“Dan aku..., aku minta maaf. Atas apa pun yang pernah terjadi di antara kita. Aku minta maaf pernah menyakitimu. Pernah membuatmu masuk ke dalam suasana yang tidak mengenakkan,” lanjut Bima.

“Sudahlah, Bim. Toh, itu sudah masa lalu. Semoga kita sama-sama bisa mengambil hikmah dari setiap masalah yang ada. Nggak ada alasan buat kita nggak bahagia,” tegasku.

“Iya, intinya aku minta maaf atas hubungan kita dulu. Dan..., makasih kamu tetap mau menjadi sahabatku.”

“Sudah azan, pulang aja, yuk! Sebentar lagi gelap,” ucapku mengakhiri perbincangan kami.

Bima mengangguk. Kami lantas berjalan menuju tempat parkir dan mengambil motor masing-masing.

“Duluan, ya!” pamit Bima yang melihatku masih sibuk mengotak-atik ponselku.

Aku hanya mengangguk pelan. Sengaja kusibukkan diriku dengan ponsel. Aku memang ingin Bima pulang lebih dahulu.

Bima telah meninggalkanku lima menit yang lalu. Kumatikan mesin motor yang tadi pura-pura kupanasi. Aku kembali ke pantai. Mataku mulai berkaca-kaca.

“Kita berhak bahagia,” ucapku lirih seraya melemparkan sebuah liontin berbentuk stroberi ke laut lepas.

Liontin yang di bagian belakang terukir tulisan ‘B&M’ itu hilang ditelan ombak. Tangisku buncah seketika. Liontin hadiah ulang tahunku dari Bima, senyum Bima, senja milik Bima, dan hubungan kami yang harus berakhir karena perbedaan kepercayaan seketika menguak kembali dalam ingatan. Mengusik hatiku yang semula sudah kutata rapi. Berharap akan tak ‘kan terkoyak lagi. Namun, nyatanya aku tetaplah seorang wanita yang rapuh oleh perasaanku sendiri.


JOG, En-271114



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini

 

Tuesday, November 25, 2014

Point of View (POV)

Seputar Point of View (POV atau Sudut Pandang Cerita):

1. POV atau sudut pandang adalah perspektif dari mana kisah diceritakan. 

2. Kita dapat memilih untuk menceritakan kisah dengan cara orang pertama (aku, kami), atau cara orang ketiga (Gagah, Lintang, dia, itu). Pada dasarnya, sudut pandang hanya dua ini. Tetapi, pada praktiknya bisa dikembangkan lebih banyak lagi sesuai keperluan.

3. POV orang pertama membatasi perspektif pembaca dalam satu karakter. Cerita ini biasanya terasa lebih personal, lebih dekat karena bahasanya yang menggunakan aku. Seperti menceritakan diri sendiri kepada sahabat dekat.

4. POV orang ketiga lebih luas dan lebih luwes. Penulis bisa menciptakan “alam semesta” yang lebih kaya dan lebih rumit. Penulis bisa “tahu” semuanya dan bisa menceritakan sesuatu “tanpa perasaan” karena tidak terlibat secara langsung sebagai “aku” dalam cerita.

5. POV orang pertama dan POV orang ketiga memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Jadi, sebagai penulis anda harus menguasai betul kedua teknik tersebut. POV orang pertama bisa jadi cocok untuk seorang penulis, tapi tidak cocok untuk anda. Carilah POV anda sendiri. Jangan malas untuk berlatih.

6. Sebagai penulis, anda harus memilih POV yang efektif untuk mengembangkan karakter dan menceritakan kisah anda. Tiap cerita bisa jadi memerlukan POV yang berbeda-beda. 

7. Bagi pemula, sangatlah mudah kalau menggunakan POV orang pertama. Namun, menggunakan POV orang ketiga tetap disarankan dan wajib dilatih agar bisa menulis dengan perspektif yang lebih luas.

8. Cara mudah untuk melatih diri mengubah kebiasaan dari POV orang pertama ke POV orang ketiga adalah menulis ulang (rewriting). Pilihlah salah satu adegan yang paling menarik dari cerita anda yang ditulis dalam POV orang pertama, lalu tulislah ulang dalam POV orang ketiga. Tidak terlalu mudah, tapi biasakan berlatih. Dalam waktu tertentu, batasi karakternya dulu. Kalau dirasa sudah bisa baik, menulislah dalam POV orang ketiga secara keseluruhan. Kalau tidak baik, kembali saja ke POV orang pertama.

9. Dalam penulisan nonfiksi biografi atau autobiografi penggunaan POV orang ketiga juga membuat tulisan lebih kaya. Penulis dengan bebas menceritakan siapa saja yang terlibat dalam kisah nyata tersebut.

10. Tidak ada seorang penulis pun yang bisa dengan tiba-tiba lancar menulis. Latihan dan latihan sangat diperlukan untuk menguasai satu teknik. Untuk urusan penulisan POV, di kelas-kelas penulisan internasional, bisa memerlukan beberapa SKS untuk mendapatkan kredit point yang bagus.

Selamat menulis dan selamat berlatih dengan POV cerita anda.




Sumber: https://id-id.facebook.com/AriKinoysanWulandari/posts/500529619983192

Thursday, November 20, 2014

MAAFKAN AKU

Penulis: Endar Wahyuni 


            Malam ini sengaja kutunggu Mas Pram di beranda rumah sembari menyedu teh hangat. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun Mas Pram belum kelihatan juga. Satu jam yang lalu dia meneleponku, katanya baru dalam perjalanan. Mungkin macet, pikirku.

Untuk menghilangkan kejenuhan, kuambil novel yang baru saja kubeli tadi siang. Sedikit demi sedikit mulai kulahap halaman per halamannya. Lampu beranda rumah memang sedikit redup. Namun, aku masih bisa membaca novelku dengan jelas.

“Kok nunggu di sini, Sayang?” Tiba-tiba Mas Pram sudah berdiri di hadapanku.

“Lah, motornya mana, Mas?” tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaannya.

“Bocor pas di depan rumah Pak Dul. Nggak ada bengkel yang buka. Bengkelnya si Ali pun sudah tutup. Aku titipin dulu di rumah Pak Dul. Besok pagi baru dorong ke bengkelnya Ali,” jelas Mas Pram panjang lebar.

“Masuk, yuk. Udara di luar dingin. Nggak baik,” ajak  Mas Pram.

Aku mengangguk pelan. Kututup novelku, sebelumnya kulipat sebagian kecil halamannya untuk memberi tanda.

“Kan, udah dibilang, kalau baca buku di tempat yang cahayanya bagus. Jangan ngeyel!” Mas Pram melirik novelku.

Ah, lagi-lagi aku harus mendengar omelan Mas Pram tentang hal-hal kecil seperti ini. Bosan? Nggak juga, sih. Karena, suatu saat pasti akan sangat kurindukan hal-hal seperti ini. Kupeluk tangan kanan Mas Pram. Kami berdua beriringan masuk ke rumah.

“Aku punya sesuatu buat kamu,” ucap Mas Pram ketika kami sudah masuk ke kamar.

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Taraaa....!” Mas Pram mengeluarkan satu kartu ATM dari dalam dompetnya.

“Ini kartu ATM buat kamu. Sengaja Mas buatkan supaya kamu lebih gampang ambil uangnya dan lebih aman juga,” terang Mas Pram.

“Dasar lelaki pengkhianat!” teriakku sambil menangis hebat.

Mas Pram hanya melongo. Sepertinya dia bingung apa yang terjadi padaku. Kuambil dompet di tangannya. Kubuka lebar-lebar. Kuperlihatkan jelas di depan matanya. Terpampang satu foto perempuan yang aku tahu itu bukan aku. Hatiku panas, dadaku bergemuruh tak karuan. Aku benar-benar kalut. Aku menangis sejadi-jadinya. Mas Pram berusaha memelukku, tapi dengan sekejap kutepis. Dia lantas terdiam duduk di sampingku, membiarkanku puas dengan tangisanku.

“Apa salahku, Mas? Hingga kamu tega ngelakuin ini?” tanyaku dengan emosi meledak-ledak.

“Salahmu..., kamu nggak tanya dulu siapa dia,” jawab Mas Pram tenang.

Aku memandang tajam ke arahnya. Tangisku kembali buncah bersama amarah yang semakin meradang. Kulihat Mas Pram malah tersenyum lembut seolah ingin menenangkanku seperti hari-hari sebelumnya ketika terjadi keributan. Ini bukan perkara kecil lagi. Apa Mas Pram pikir dia akan mampu meluluhkanku dengan jurus andalan sehari-harinya. Aku semakin kalap.

“Kalau sudah cemburunya, aku jelaskan. Dia teman kuliah dulu, yang mau aku kenalkan ke sepupu kamu. Kan, kamu sendiri yang bilang mau nyariin jodoh buat sepupumu,” papar Mas Pram.

Sontak aku langsung menatapnya. Menatap wajah tenang yang selalu sabar mendampingiku satu tahun belakangan ini, walau kami belum juga dikaruniai momongan. Tangisku kembali buncah. Namun, kali ini tumpah ruah dalam dekapannya.

“Maafkan aku, ya, Mas!” pintaku seraya mengeratkan pelukanku.


JOG, En-201114



Lihat juga Flash Fiction lainnya di sini