Penulis: bepe, 07 September 2013
Pada suatu pagi di Gelora Bung Karno.
Saya tengah jogging ketika tiba-tiba seorang anak SMP mengejar, dan kemudian berlari sejajar dengan saya. Sejurus kemudian anak tersebut berkata "Om boleh ikut lari ngga?", "Oh ayo saja" jawab saya singkat sambil terus berlari.
"Jadi beneran sudah pensiun nih Om?", tanya anak tersebut. "Pensiun total sih belom, tapi untuk tim nasional iya", jawab saya. "Ngga sayang Om?" tanya dia lagi. "Maksudnya sayang?" ucap saya balik bertanya.
"Ya semua orang pada pengen banget masuk tim nasional, eh Om yang jadi kapten malah mengundurkan diri", ujar dia lagi. Mendengar kalimat tersebut, sejenak saya pun menghela nafas. Beberapa saat kemudian saya menjawab, "Manusia itu harus tahu kapan saatnya berjalan, dan kapan saatnya untuk berhenti".
Anak tersebut hanya terdiam sambil terus berlari di samping saya. Nampak jika dia tengah coba
mengartikan kalimat yang baru saja keluar dari mulut saya. Tak lama
kemudian, anak tersebut kembali bertanya "Trus kenapa ngga main lagi di Persija Om?. "Iya lagi pengen istirahat dulu hehehe", jawab saya singkat..
"Karena masalah gaji ya om?" ujar dia lagi. Saya tidak menjawab pertanyaan tersebut. "Dimana loyalitas dan kecintaanmu kepada klub yang telah membesarkanmu Om?", cerocos anak tersebut. Seketika sambil tersenyum sayapun bergumam dalam hati, "Mimpi apa gue semalem, pagi-pagi udah ketemu yang beginian".
Sambil terus berlari sayapun kemudian berkata, "Rasa cinta
dan fanatisme kita terhadap sesuatu, jangan pernah membutakan mata dan
hati kita dalam membuat sebuah penilaian. Jika sesuatu yang kita cintai
telah melenceng dan melakuan kesalahan, maka sudah menjadi kewajiban dan
tanggung jawab kita untuk mengingatkan".
"Begitu juga dengan Persija Jakarta,
ketika mereka melakukan kesalahan dengan menelantarkan para pemain yang
telah berjuang atas nama Persija Jakarta, maka mereka harus
diperingatkan. Jadi ini lebih kepada rasa cinta dan tanggung jawab,
bukan kebencian. Mereka yang berpikiran terbuka, tidak akan pernah
menganalogikan kritik dengan sebuah kebencian".
Anak tersebut mendengarkan dengan seksama sambil terus berusaha mengimbangi langkah kaki saya. "Emang parah tuh Ferri Paulus", ujar dia perlahan. Sejurus kemudian dengan nafas yang terengah-engah ia kembali bertanya, "Om kasih motivasi buat saya dong, biar saya bisa jadi pemain yang sukses seperti Om".
Pertanyaan tersebut membuat saya terdiam sesaat. Dan ketika saya
ingin menjawab pertanyaan tersebut, ternyata si anak tadi sudah tidak
berada disamping saya lagi.
Seketika sayapun
memperlambat langkah dan melihat ke belakang. Ternyata dia tengah
menunduk sambil memegangi kedua lututnya. Nafasnya nampak
tersengal-sengal tak beraturan. Sayapun berjalan berbalik arah dan
mendekati anak tersebut.
"Siapa namamu?" tanya saya kepada anak tersebut. "Reza om", jawab anak itu. "Dengar lagi baik-baik. Motivator terbaik dalam hidup ini
adalah diri sendiri, bukan orang lain. Bukan orang tua, pacar, idola,
guru, atau Mario Teguh sekalipun. Karena yang paling tahu dan mengenal
diri kita adalah diri kita sendiri".
Si anak yang mengaku bernama Reza tersebut hanya memandangi saya
sambil tetap mencoba mengatur nafasnya. Beberapa saat berselang sayapun
kembali berkata, "Siapapun bisa saja memberikan motivasi yang luar biasa, namun hal tersebut bisa jadi hanya singgah sebentar di otak kita, dan tak lama
kemudian akan menghilang. Berbeda jika kita dapat mencari cara untuk
memotivasi diri sendiri, maka sugesti atau pesan itu akan tertanam kuat
di dalam otak kita, dan tinggal disana selamanya".
"Oh begitu ya om", kata si Reza perlahan. "Semoga kamu mengerti",
ujar saya singkat sambil menepuk pundak anak SMP tersebut. Sayapun
lanjut berlari mengelilingi lintasan luar Stadion Utama Gelora Bung
Karno.
Sekelumit cerita di atas hanyalah sebuah
contoh soal, yang dalam kesempatan itu mungkin dapat mewakili banyak
hal. Mewakili banyak hal, mengingat sejujurnya banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan serupa yang ditujukan kepada diri saya. Baik
secara langsung, maupun melalui media sosial.
Dan
bukan bermaksud untuk tidak ingin berbagi, atau menyemangati, namun
saya memiliki pandangan yang mungkin sedikit berbeda dengan orang
kebanyakan. Utamanya mengenai apa itu motivasi, dan bagaimana cara
memotivasi. Di bawah ini saya akan coba untuk menjabarkannya bagi
rekan-rekan sekalian.
Awal sekali saya adalah sebuah pribadi yang sangat yakin dan
percaya, jika sesuatu yang terjadi karena getaran dari dalam diri, akan
selalu lebih efektif daripada pengaruh dari luar. Yang dalam hal ini
berarti, reaksi setiap individu terhadap segala sesuatu yang ia rasakan
dan hadapi, selalu menjadi hal yang paling penting.
"Life is 10% of what happens to you, and 90% how you respond to it". Entah siapa yang menulis atau berkata demikian, karena sejujurnya saya sudah lupa. Namun terlepas dari siapapun orangnya, saya sangat setuju dengan ungkapan tersebut.
Pada
dasarnya setiap manusia itu sama, yang membedakan adalah reaksi mereka
terhadap segala permasalahan yang ia hadapi. Artinya, sebesar dan
seberat apapun permasalahan yang menghampiri kita, selama kita mampu
bereaksi positif terhadap permasalahan tersebut, maka kita akan mampu
melewatinya dengan baik.
Permasalahan itu hanya 10
persen dari keseluruhan hidup kita, sedang 90 persen sisanya adalah
bagaimana reaksi kita terhadap permasalahan tersebut. Semakin positif
reaksi kita dalam menghadapi masalah tersebut, maka semakin besar juga
presentasi kita untuk dapat melewatinya. Begitu juga sebaliknya.
Teori
kesuksesan itu sederhana. Kemampuan ditambah kemauan serta keyakinan,
maka sama dengan kesuksesan. Jika anda merasa lemah pada salah satu
sisinya, maka anda harus memberi perhatian lebih, atau bekerja lebih
keras pada sisi yang lain. Kesuksesan akan datang kepada orang-orang
yang mampu memaksimalkan kemampuan yang ada pada diri mereka.
Idealnya memang kemampuan, kemauan, dan keyakinan dalam posisi
yang sama-sama kuat. Namun hal tersebut jarang sekali ditemui, akan
selalu ada sisi yang sedikit lemah dari ketiga hal tersebut.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa definisi
sebuah kesuksesan sebenarnya bukan berada pada penilaian dari
orang-orang di luar sana. Melainkan berada pada sejauh mana kita mampu
memaksimalkan potensi yang ada pada diri kita, untuk mampu mencapai
sesuatu. Dan hal tersebut hanya dapat dinilai oleh diri kita sendiri,
bukan orang lain.
Karena kembali lagi, pada akhirnya
yang paling mengerti diri kita adalah diri kita sendiri. Demikian
halnya yang paling mengerti sajauh mana potensi yang ada pada diri kita,
jugalah diri kita masing-masing..
Maka mari
bekerja keras untuk mencapai sesuatu, bukan untuk mengalahkan orang
lain. Jangan pernah terbelenggu dengan sifat iri, dengki, benci serta
dendam terhadap orang lain. Karena sejatinya, hal tersebut hanya akan
membatasi potensi serta ruang gerak kita, untuk berkembang dan menjadi
jauh lebih baik dari siapa diri kita saat ini.
Mungkin
saja pada sebuah tahap, kita sudah mampu mengalahkan orang lain. Dan
ketika kita sudah merasa puas dengan hal tersebut, maka kita hanya akan
berhenti sampai disana saja. Padahal mungkin dengan potensi yang kita
miliki, kita mampu melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya sekedar
mengalahkan orang tersebut.
Akhir sekali kepada
seluruh pesepakbola muda di luar sana, jangan pernah ingin menjadi
seperti diri saya. Mengapa? karena dengan kemampuan yang kalian miliki,
dengan kerja keras dan keyakinan, maka bisa jadi kalian dapat menjadi
jauh lebih baik dari diri saya.
Siapa tahu? Bukankah kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
Maka tulislah masa depanmu dengan penamu sendiri, dan warnailah dengan warna yang kalian sukai. Karena hidup ini terlalu singkat untuk menjadi orang lain.
Selamat berjuang dan semoga sukses, untuk karir dan masa depan kalian.
Selesai....
Sumber: http://bambangpamungkas20.com/bepe/baca/artikel/umum/2013/09/07/161/motivator-terbaik-dalam-hidup-adalah-diri-sendiri#.U6-SWrG1qDF