Sunday, August 5, 2012

Cinta Perempuanmu?


Cinta itu butuh kesabaran. Sampai di manakah kita harus bersabar menanti cinta kita?



Hari itu, aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita. Aku menjadi perempuan yang paling bahagia. Pernikahan kami sederhana namun meriah. Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu. Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan, dan mapan pula. Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya. Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu.



Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci. Aku sangat bahagia dengannya, dan dia juga sangat memanjakan aku. Terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya padaku. Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.




***




Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri. Tak terasa waktu begitu cepat berjalan. Walaupun kami hanya hidup berdua saja. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami.



Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya. Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku. Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-Nya.



Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu dan adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku. Di depan suamiku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi di belakang suamiku, aku dihina-hina oleh mereka.



Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda itu.



Ia dirawat di rumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang dan malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al–Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosia. Aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.



Namun ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya, dan teman-teman suamiku. Dan di saat itu juga aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.



Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.



Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, "Assalammualaikum….”



Mereka menjawab salamku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah lima hari matanya selalu tertutup.



Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata, "Assalammu'alaikum….”



Ia pun menjawab salamku dengan suaranya yang lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.



Lalu, ibunya berbicara denganku. "Fis, kenalkan ini Desi, teman Fikri.”



Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, aku tak banyak bicara di ruangan tersebut, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan.



Aku sibuk membersihkan dan mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba Dian---adik iparku---mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya.



Tapi, ketika di luar adik iparku berkata, "Lebih baik kau pulang saja, ada kami yang menjaga abang di sini. Kau istirahat saja."



Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi, tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya, dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.



Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.




***




Hari itu aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya. Aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.



Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang. Ia baru aja selesai sarapan. Ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.



Aku bertanya, "Ada apa kamu memanggilku?"



"Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang."



"Iya, Sayang…, aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memegang tiket, bukan?"



"Ya, tapi aku akan lama di sana, sekitar tiga minggu. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah. Aku akan pulang dengan Mama,”  jawabnya tegas.



"Mengapa baru sekarang bicara? Aku pikir hanya seminggu saja kamu di sana,” tanyaku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulangannya itu. Padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.



"Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti,” jawabnya tegas.



"Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita tiga minggu tidak bertemu. Ya, kan?" Ia melanjutkan lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya.



Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang dan cinta. Walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku. Tapi karena keluarganya tidak menyukaiku. Hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.



Kemudian aku memutuskan agar ia saja yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.



Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan dipedulikan oleh keluarganya---datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang. Dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.



Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang. Ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh di pipiku. Lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.



Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini. Karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman.



Sampai keesokan harinya aku terus menangis. Menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini. Perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.




***




Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman. Aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.



Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit di rahimku, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adikku yang kebetulan menemanik. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium tiga.



Aku menangis. Apa yang bisa aku banggakan lagi?



Mertuaku akan semakin menghinaku. Suamiku yang malang, yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku, namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.



Aku kangen suamiku. Aku selalu menunggunya pulang dan bertanya-tanya, "Kapankah ia segera pulang?"



Sementara suamiku di sana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku. Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya.



Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung. Sudah tiga minggu suamiku di Sabang. Malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada pesan masuk.



Kubuka ponselku, ternyata dari suamiku. Ia menulis, "Aku sudah beli tiket untuk pulang. Aku pulangnya satu hari lagi. Nanti kukabari lagi.”



Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yang kutunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.



Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang. Nanti aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang buruk akhir-akhir ini.



Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya ke depan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya. Aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri, langsung mencium tangannya. Tapi apa reaksinya?



Masya-Allah, ia tidak mencium keningku. Ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku.



Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan sepertiga malam. Mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.



Biasanya kami selalu berjamaah. Tapi karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan mencium keningnya. Aku lalu sholat tahajud 8 rakaat dan witir 3 rakaat.




***




Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu melihatnya dari balkon kamar kami. Ia bersiap-siap untuk pergi. Aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan berlari dari atas ke bawah tanpa memerdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya. Tapi ia begitu cepat pergi.



Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?



Aku tidak bisa diam begitu saja. Firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon ke rumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya. Aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, "Loe pikir aja sendiri!!!.” Telpon pun langsung terputus.



Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.



Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat. Ia bertanya dengan nada keras.



Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuatku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu. Tapi aku selalu ingat, sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdoa semoga suamiku sadar akan prilakunya.




***




Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini. Kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.



Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya dan menyiapkan segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.



Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji. Jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.



Sungguh, suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku. Setiap aku bertanya, ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri.



Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.



"Ya, ada apa, Yah?" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya, ‘Ayah’.



"Lusa kita siap-siap ke Sabang, ya." jawabnya tegas.



"Ada apa? Mengapa?"



Kau ikut saja, jangan banyak tanya!"



Astaghfirullah. Suamiku yang dulu lembut tiba-tiba menjadi kasar. Dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.



Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis. Sedih karena suamiku kini tak aku kenal lagi.



Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah. Sudah dua tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Kulihat kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin. Lebih dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.



Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..




***




Kami telah sampai di Sabang. Aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul di sana, termasuk ibu dan adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.



Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah di dalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.



Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua, tiba-tiba Tante Lia---tante yang sangat baik padaku---memanggilku untuk bersegera berkumpul di ruang tengah. Aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu---yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.



Kemudian aku duduk di samping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.



"Baiklah, karena kalian telah berkumpul, Nenek ingin bicara dengan kau, Fisha". Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.



"Ada apa ya Nek?" sahutku dengan penuh tanya.



"Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!"



Aku menangis. Untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?



"Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu. Sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau diatur. Dan akhirnya menikahlah ia dengan kau,” lanjut neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.



Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.



"Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya.” Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam saja. Aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian untuk itu.



Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, "Kau maunya gimana? Kau dimadu atau diceraikan?"



MasyaAllah. Kuatkan hati ini. Aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku. Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu. Mereka mengira aku sangat bahagia dua tahun belakangan ini.



"Fish, jawab!" Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.



Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.



"Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah. Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru di rumah kami."



Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.



Aku lalu bertanya kepada suamiku, "Ayah, siapakah yang akan menjadi sahabatku di rumah kita nanti, Yah?"



Suamiku menjawab, "Desi."



Akupun langsung menarik napas dan berbicara, "Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini, Nek?"



Ayah mertuaku menjawab, "Pernikahannya dia minggu lagi."



"Baiklah kalau begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok.” Setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.



Tak tahan lagi. Air mata ini akan turun. Aku berjalan sangat cepat, membuka pintu kamar dan langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri di sini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku.



Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan?



Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, "Sudah tidak cantikkah aku ini?"



Kuambil sisir. Kusisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi. Rambutku sudah hampir habis. Kepalaku sudah botak di bagian tengahnya.



Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ternyata suamiku yang dating. Ia berdiri di belakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, "Terima kasih, Ayah, kamu memberi sahabat kepadaku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti. Iya, kan?"



Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok. Dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku bertanya mengapa ia sangat cuek dan sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “Sudah malam, kita istirahat, yuk!"



"Aku sholat isya dulu, baru tidur.”



Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Kuhitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakanku atas rasa sayang dan cintanya itu.




***




Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.



Aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas. Apa salahku? Sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di My Document yang bertitle "Aku Mencintaimu Suamiku”.



Hari pernikahan telah tiba. Aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendela. Melihat matahari. Mungkin aku tak kan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama. Suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.



"Apakah kamu sudah siap?"



Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata, "Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu. Lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin, bacakan doa di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu….” Ucapanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.



Tiba-tiba suamiku menjawab, "Lalu apa, Bunda?"



Aku kaget mendengar kata itu. Yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar.



"Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?" pintaku untuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.



Dia mengangguk dan berkata, "Baik, Bunda. Akan Ayah ulangi. Lalu apa, Bunda?" Sambil ia mengelus wajah dan menghapus air mataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.



Dia tersenyum sambil berkata, "Kita lihat saja nanti, ya.” Dia memelukku dan berkata, "Bunda adalah wanita yang paling kuat yang Ayah temui selain Mama.”



Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, "Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian, Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tahu, bahwa aku tidak pernah berzina. Dulu, waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang di hadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah."



Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, "Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah".



Saat itu juga, diangkatnya badanku. Ia hanya menangis.



Ia memelukku sangat lama, dua tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, "Bunda baik-baik saja, kan?"



Aku pun menjawab, "Bisa memeluk dan melihat Ayah kembali seperti dulu itu sudah membuatku baik. Aku hanya tak bisa bicara sekarang.”



Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyuk menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.




***




Setelah tiba di masjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, "Ayah jangan!"



Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya, aku kuat.



Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku. Mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh. Mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum.



Sampai di rumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu, Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang dimusuhi.



Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.



Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu. Aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur di sofa ruang tengah. Kudekati. MasyaAllah. Suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur di sofa. Aku duduk di sofa itu sambil mengelus wajahnya yang lelah. Tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.



"Kamu datang ke sini, aku pun tahu,” katanya. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, "Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena egoku. Besok kita pulang ke Jakarta. Biar Desi pulang dengan mama, papa, dan juga adik-adikku."



Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi.



Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi, masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.



Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus?"



Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa kurasakan. Aku pun berkata, "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?"



"Aku kangen sama Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois." Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.



Lalu suamiku berkata, "Bun, Ayah minta maaf telah menelantarkan bunda. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah. Bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah. Dan satu lagi, Ayah pernah melihat SMS bunda dengan mantan pacar Bunda di mana isinya kalau bunda gak mau berbuat ‘seperti itu’ dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip. Ayah ingin ngomong tapi takut Bunda tersinggung dan berpikir kalau Bunda pernah tidur dengannya sebelum bertemu Ayah. Terus Ayah dimarahi oleh keluarga karena terlalu memanjakan Bunda"



Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.



Aku hanya menjawab, "Aku sudah ceritakan itu, kan, Yah. Aku tidak pernah berzina dan aku mencintaimu setulus hatiku. Jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu it. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu."



Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena ‘sahabatku’ sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.




***




Keesokan harinya...



Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali. Aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.



Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Dan mengatakan, "Bunda, Ayah minta maaf...."



Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, "Yah, Bunda ingin pulang. Bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana, ya, Yah...."



"Ayah jangan berubah lagi, ya. Janji, ya, Yah.... Bunda sayang banget sama Ayah,” lanjutku.



Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin ke atas. Kakiku sudah tak bisa bergerak lagi. Aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.



Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah napasku.



Untuk Ibu mertuaku, "Maafkan aku telah hadir di dalam kehidupan anakmu sampai aku hidup di dalam hatinya. Ketahuila, Ma, dari dulu aku selalu berdoa agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku di depan suamiku, apa engkau punya buktinya, Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku, Ma? Fikri tetap milikmu, Ma. Aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu. Dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku, menantumu, kau bersikap sebaliknya."







---selesai---










No comments:

Post a Comment